Friday, November 2, 2012

Anak Butuh Dimengerti

Suatu hari tanpa sengaja, saya mendengar sebuah suara keras sekali. Suara itu ternyata ialah bentakan seorang mama pada anaknya. Mereka tetangga saya. “ayo cepat, matikan televisi lalu mandi! Kalau tidak mandi nanti mama pukul!! “. Kaget saya mendengarnya, akankah si anak mau menuruti perintah mamanya? Ya, anak itu ternyata mau untuk mandi. Tergelitik dengan peristiwa itu saya mencoba bergabung dengan keluarga itu. Sayapun permisi dan pura-pura bertamu.

Sungguh suatu pengalaman yang membuat hati saya miris. Si anak memang mandi, tetapi raut wajahnya nampaknya tidak menampakan kegembiraan. Agak cemberut seolah ada yang menekannya. Dalam batin saya, saya bertanya “apakah efektif perintah dan teriakan mama tadi ya?”. Barangkali si anak memang patuh, namun apakah hal itu tidak membuat sia anak justru melakukan sesuatu karena takut dipukul? Apakah hal ini dapat disebut sebagai cara mendidik anak secara tepat? Apa resiko yang bisa ditimbulkan bagi anak? Wah pusing juga deh muncul banyak pertanyaan di kepala saya.

Gejala umum yang biasa terjadi
Dalam dunia psikolgi, sigmund freud dan masih banyak ahli lainnya, sepakat bahwa anak memiliki dua kecenderungan respons atas stimulus yang dihadir padanya. Respons itu ialah “rasa nyaman” dan “rasa tidak nyaman”. Gejala umum yang terjadi apabila anak merasa nyaman sejauh yang bisa dilihat ialah wajahnya nampak tersenyum, seolah ceria, nampak menggemaskan. Pendek kata nampak enak untuk dilihat gejala umum apabila anak mengalami rasa tidak aman ia akan cenderung melawan, pendiam, ngambek berkepanjangan, malas, tidak bisa tenang, pendek kata nampak menyebalkan.

“Mengapa anak merasa tidak nyaman?”
Ada beberapa alasan yang kiranya bisa menjadi indikasi atau petunjuk mengapa anak merasa tidak nyaman. Beberapa alasan tersebut ialah:
Pertama: orang tua lupa, bahwa orang tua “pernah” menjadi anak kecil, sementara anak belum pernah menjadi orang tua.
Kedua: barangkali orang tua lupa bahwa dalam diri anak nilai dan pemahaman belum terbentuk secara sempurna dan hal ini jelas berbeda dengan nilai dan pehaman orang tua. Ketiga: orang tua barangkali bermaksud baik, namun cara yang dipakai terlau cepat dan instant mengarahkan anak.

Hypnoparenting sebagai bekal orang tua berkomunikasi dengan anak

Bagi masyarakat awam kata hypnosis sangat asing. Sebagian orang beranggapan bahwa “hypnosis” ialah seperti kita lihat di televisi pada umumnya dan identik dengan tidur. Itu memang benar dan tidak ada yang disalahkan. Tetetapi sekali lagi saya akan menambahkan agar pembaca tidak salah persepsi tentang hypnosis itu sendiri. Menurut NGH (National Guild of Hypnotherapy) hipnosis ialah gabungan dari dua ilmu yaitu ilmu komunikasi dan psikologi. Secara detail hipnosis ialah sebuah teknik komunikasi yang persuasif, sugestif, efektif, dan tepat guna. Sekarang kita dapat menyimpulkan apa sih hypnosis for parenting? Ingat parenting berasal dari bahasa inggris yaitu “parent” yang berarti orang tua. Jadi hypnosis for parenting ialah teknik komunikasi yang persuasif, sugestif, dan tepat guna terutama mendidik anak dalam sebuah keluarga. Hal tersebut sangat berguna bagi anak di masa depan untuk mengembangkan potensi-potensi ataupun bakat yang ada pada individu jika orangtua keika mendidik tepat pada sasaran yang dituju.
Menurut Elizabeth B. Hurlock dakam bukunya psikologi perkembangan yang berjudul “suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan” mengatakan usia 2-6 tahun masuk dalam kategori masa kanak-kanak awal. Yang paling menonjol dalam periode ini ialah meniru pembicaran dan tindakan orang lain. Oleh karena itu, periode ini juga disebut usia meniru. Ahli psikologi juga menamakan periode ini sebagai usia kreatif.

Orang tua yang baik ialah orang yang mahir berkomunikasi secara benar dengan anaknya
Dari teori konvergensi mengatakan “perkembangan individu akan ditentukan baik oleh faktor yang dibawa sejak lahir (faktor endogen) maupun faktor  lingkungan (termasuk pengalaman dan pendidikan) yang merupakan faktor eksogen (William Stern). Jadi satu pembentuk sifat individu dari lingkungan keluarga itu sendiri. Apa yang harus orang tua lajukan? Sederhana sekali kita lihat konteksnya, bagaimana jika orang tua sebaiknya memberi suatu pilihan dan kesepakatan ketika menyuruh anaknya untuk mandi. Contoh: “nak, mau mandi kapan? Mau mandi sekarang atau setelah menonton televisi? Maka secara otomatis si anak akan menjawab dengan kesadaran, misal: ”habis nonton televisi aja ma, habis itu baru mandi”. Mudah bukan? Dari konteks dialog antara mama dan anak di atas tidak ada unsur kekerasan dan tidak ada label negatif untuk anak. Yang terpenting ialah mengarahkan anak itu dengan kata-kata kita kepada satu tujuan yaitu supaya mandi. Menggunakan kata-kata halus saja bisa, kenapa harus dengan kekerasan?

Tidak hanya terjadi pada anak-anak saja. Ada beberapa kasus yang dialami oleh remaja menjadi malas belajar dan tertekan oleh orang tuanya sendiri. Banyak orang tua yang memaksakan anaknya agar cara belajarnya diubah supaya mendapatkan hasil yang maksimal, padahal nilai mereka sudah baik. Sejenak saya termenung menanggapi hal tersebut. Kemudian apa yang mengganggu dari diri anak tersebut? Nilai saja sudah baik apalagi yang harus diubah? Hanya karena gaya belajar tersebut yang tidak sesuai dengan keinginan orang tua terkadang menimbulkan konflik tertentu antara orang tua dan anak. Belum tentu cara belajar yang diinginkan orang tua si anak hasilnya akan jadi lebih baik lagi. Kemungkinan besar si anak tidak dapat menerima keterpaksaan tersebut atau bahkan tidak dapat beradaptasi sehingga nilai di sekolahnya menjadi buruk. Nah itu dia, cara belajar kita dulu pastinya berbeda dengan cara belajar anak kita, jelas tidak dapat disamakan, malah akan semakin runyam urusannya. Perlu digaris bawahi bahwa anak malas belajar ialah buah dari rajinnya orang tua memaksakan anak belajar. Memang orang tua niatnya ialah sayang terhadap anaknya, namun dengan mempertahankan ego sebagai orang tua akan mengatasnamakan rasa sayang sering kali berujung pada penderitaan sang anak bahkan penderitaan anak dan orang tua. Biarkan anak hidup dengan apa yang mereka bisa dan tetap pada bimbingan orang tua yang baik dan benar.

Orang tua yang baik ialah orang tua yang memperlakukan anaknya sebagai anugerah yang merupakan amanah dari Allah SWT
Orang tua yang baik ialah berperan sebagai teman. Maka dari itu tidak ada kata terlambat untuk merubah persepsi, perilaku kita dalam menddik seorang anak agar terbentuk menjadi individu sesuai dengan cita-cita atau mengarah pada perkembangan individu ke suatu tujuan tertentu. Jangan biarkan kita sebagai orang tua mencederai anak kita sendiri. Mencederai anak sama halnya dengan mencederai amanah dari Allah SWT. Ingat, anak ialah titipan Allah SWT. Anak membutuhkan kehadiran sugesti-sugesti positif, rasa cinta, kasih sayang dan perhatian dari kedua orang tua. Mungkin selama ini kedua orang tua memang ada di hadapan anaknya namun kadang mereka belum tentu hadir untuk memberi sugesti-sugesti positif membangun, karena yang namanya ada belum tentu hadir dan sebaiknya bahwa yang namanya hadir itu pasti ada. Semoga bermanfaat.

No comments:

Post a Comment